ikatlah ilmu dengan menuliskannya

Selasa, 29 Maret 2011

puisi

Puisi
Tentang Aku
Jika kau kutanyai
Siapa aku?
Kau akan jawab apa?
Aku tau pasti kau akan bisu

Aku juga pernah lontarkan itu padanya
Tentang aku
Bagaimana ia menjawabku?
Ia diam

Juga pada mereka
Tentang diriku
Kau tau jawab mereka?
Lidah mereka kelu

Nanti bila kau yang bertanya padaku
Kupastikan akupun seperti kau, dia, dan mereka
Karena akupun tak tau aku
###
Padang, 6 Maret 2011

Kamis, 24 Maret 2011

cerpen

Koran Pagi
Oleh Rani Oktavia
Jika kau rajin membeli atau membaca koran maka kau akan menemukan berbagai berita terbaru setiap harinya. Yang tak pernah tidak muncul adalah tentang berbagai program-program yang sedang dirintis pemerintah, baik pusat ataupun daerah. Disana akan terlihat betapa banyaknya usaha yang akan dilakukan oleh pemimpin-pemimpin negeri ini. Dan di salah satu halaman koran itu akan kau temui berupa kolom-kolom kecil yang banyak. Isinya berbagai macam, mulai dari penawaran jasa, iklan barang-barang elektronik, penjualan unit rumah atau kendaraan, dan yang paling sering lowongan pekerjaan. Dan yang terakhir ini adalah yang paling sering dicari Pak Mudin, seorang tetanggaku yang telah setahun ini menyandang status pengangguran.
Setahun yang lalu Pak Mudin adalah seorang karyawan di pabrik pembuatan “karak kaliang”, salah satu makanan tradisional di Minangkabau. Bahan dasar pembuatan makanan itu adalah ubi. Namun baru tiga tahun berjalan pabrik itu mengalami kemunduran dan lama-kelamaan bangkrut. Kebangkrutannya diduga karena ulah dua orang karyawan yang tidak jujur. Terpaksalah Pak Mudin melalangbuana mencari pekerjaan baru agar terus bisa menghidupi keluarganya.
Pak Mudin sebenarnya keturunan asli Jawa, lalu menikah dengan Tek Ina yang kini menjadi istrinya dan ibu dari ketiga anaknya. Dua puluh tahun yang lalu Tek Ina merantau ke Jakarta mengikuti ayah dan ibu tirinya. Di sanalah nasib mempertemukanPak Mudin dan Tek Ina. Setelah menikah mereka memutuskan hidup di tanah kelahiran Tek Ina, Bukittinggi, sebuah Kota di Sumatra Barat. Dengan bekal keterampilan memasak yang dipunyai Tek Ina, mereka memulai usaha membuka sebuah warung makan kecil. Setiap paginya disana tersedia berbagai makanan untuk sarapan pagi bagi mereka yang tidak sempat memasak lantaran dikejar kesibukan.
Saat masih punya anak satu semua kebutuhan mereka terpenuhi dengan hasil warung makan itu. Namun setelah lahir anak kedua dan ketiga, tentu saja tuntutan semakin banyak. Sedangkan pemasukan mereka seperti itu saja, hanya bersumber dari warung itu. Lagipula warung-warung makan lain sudah mulai bermunculan.
Pak Mudin mencari akal agar bisa menyeimbangkan pemasukan dan pengeluaran mereka. Untunglah saat itu ada tetangganya yang berniat membuka usaha pembuatan “karak kalliang”. Pak Mudin dipercayakan menjadi karyawan tetap disana. Baru satu tahun disana uasaha warung makan yang dikelola Tek Ina mulai kandas dan benar-benar ditutup lantaran kurangnya pembeli dari hari kehari. Sejak itu kedua suami istri itu menompangkan hidup ke oabrik karak kaliang milik Pak Ali tetangga mereka.
Setelah pabrik karak kaliang itu ditutup Pak Mudin dan Tek Ina benar-benar kehilangan sumber penghasilan. Apalagi Tek Ina tidak punya tanah yang bisa digarap seandainya Pak Mudin bersedia menjadi petani.
Kini Pak Mudin menjadi tetanggaku di Padang. Beliau telah mencicipi berbagai macam profesi, mulai dari tukang angkut di pasar, tukang sampah, penjual koran, petugas kebersihan di pasar, hingga menjadi pemulung di sekitar kampusku. Anak pertama dan kedua Pak Mudin, Rika dan Rina, teraksa berhenti sekolah kerena Pak Mudin dan Tek Ina tidak sanggup membiayai pendidikan mereka,
Bicara soal pendidikan kabarnya sekarang tidak dipungut biaya lagi. Bahkan banyak beasiswa yang disediakan bagi siswa dari keluarga kurang mampu. Di televisi banyak sekali kudengar tetang berbagai macam usaha pemerintah untuk meratakan pendidikan di Indonesia. Malam kemaren saja kusaksikan dialog antara mentri pendidikan dengan seorang anggota dewan, masih tentang pendidikan. Katanya salah satu usaha untuk memperbaiki nasib bangsa ini adalah dimulai dengan meningkatkan mutu pendidikan. Oleh karenanya maka semua anak Indonesia berhak mendapatkan pendidikan. Bagi mereka yang tidak mampu dalam hal biaya akan tersedia bantuan berupa beasiswa.
Ah, bagiku semua itu tipuan! Pemerintah ambil muka agar terlihat bertanggung jawab dengan amanahnya. Anggota dewan mengambil hati rakyat agar dipilih lagi sebagai wakil mereka tahun depan. Mungkin saja kan? Lihat saja bukti dekatnya, Rika dan Rina. Dari cerita mereka aku berpikir mungkinkah pendidikan ini sebenarnya diperuntukkan hanya bagi orang-oarang kaya saja? Mengapa yang mendapat beasiswa di sekolah Rika salah satunya adalah anak Pak Rahmat, yang tiap bulannya menerima uang tetap dari pemerintah? Atau anak Pak Muljab yang dengan usaha toko grosirannya ia mampu menyekolahkan anak sulungnya hingga sarjana? Sedangkan ayah Rika, setiap hari menantang matahari mencari uang denagn profesi yang tidak tetap. Anaknya malah harus angkat kaki dari sekolah lantaran menunggak 3 bulan uang SPP. Lalu, sekolah gratis seperti apakah yang dimaksudkan oleh pemerintah?
Rasanya aku perlu mengajak pemerintah datang ke komplek kos-kosanku ini. Lalu kuajak mendatangi gubuk yang ditempati Pak Mudin. Akan kuperkenalkan pada mereka salah satu bukti telah meratanya pendidikan di Indonesia ini.
###
“Bisa temani aku ke rumah sakit, Sa?”, tanya Mila selepas Ashar sore ini.
“Menjenguk sepupumu yang kamu ceritakan malan ya?”, tanyaku.
Mila mengangguk.
Setelah berbganti pakaian kami menaiki angkot labor menuju pasar raya sebelum mendapatkan angkot menuju sebuah rumah sakit umum di Padang ini. Di perjalanan kusempatkan melemparkan pandangan ke tepi jalan memperhatikan aktifitas masyarakat. Selintas kulihat Tek Ina dan Rika kerepotan membawa barang-barang bekas yang mereka kumpulkan di sepanjang jalan. Mereka berjalan tergesa bagai dikejar preman.
Ketika hendak keluar dari pintu utama sakit, aku bertemu Rika di depan meja administrasi. Ia sedang berbicara dengan salah seorang karyawan rumah sakkit. Aku tak bisa mendengar jelas ucapan mereka. Namun bisa kutangkap saat itu Rika tengah memohon pada karyawan itu agar bisa segera mengoperasi ayahnya.
“Nanti uangnya pasti menyusul, Buk”, Rika berusaha meyakinkan orang itu.
“Tidak bisa, Dek. Biaya operasi harus dibayar dulu baru bisa dioperasi. Begitu peraturannya”, perempuan tidak menatap Rika sama sekali. Rika seperti orang yang tidak penting. Sungguh tidak sopan.
“Ayahmu kenapa, Ka?”, aku mendatangi Rika yang sudah mulai putus asa.
“Ia harus dioperasi, Sa. Kata dokter ia terkena kanker hati. Dan keadaannya sudah parah, beliau harus segera dioperasi secepat mungkin. Tapi aku tidak punya uang, Sa”.
Innalillah.. aku semakin tak paham dengan rumah sakit ini. Dalam keadaan sekritis itu masih saja memperhitungkan biaya? Padahal ini adalah rumah sakit umum, yang katanya adalah pelayan masyarakat. Lagipula Rika sudah berjanji akan melunasi bianya.
Aku teringat dengan sepuupu Mila. Ayahnya seorang pejabat pemerintah daerah. Ruangan tempat ia dirawat kurasa cukup bila dijadikan ruang rapat pengurus Himpunan Jurusanku saking luasnya. Di kamar itu ia hanya sendiri. Nyaman sekali rasanya bila dirawat di tempat seperti ruangan pribadi itu. Dan hebatnya ia tak membayar sedikitpun. Apa lagi ini? Karena ia anak pejabatkah?
###
Esok paginya kudengar kabar salah seorang tetanggaku meninggal di sebuah rumah sakit karena serangan kanker hati. Semoga pemerintah mendengar kabar ini meski di koran pagi tertulis headline “Berobat Gratis, Progam Terbaru Mentri Kesehatan dalam Tahun ini”.
Padang, 6 Maret 2011